Apakah yang dimaksud dengan Minimalisme Agama dan Maksimalisme Agama?
Pada dasarnya, sejauh mana ruang lingkup peran agama dalam kehidpan
umat manusia menurut pandangan Islam dan pandangan Barat? Terlepas
dari apakah setiap agama itu menyimpan pesan-pesan dan ajaran-ajaran
khas mengenai kehidupan manusia, dari balik tinjauan luar terhadap
agama ada sebuah pertanyaan serius, yaitu; pada dasarnya, dalam
perkara apa saja kita menantikan bantuan dan arahan agama? Ada tiga
jawaban atas pertanyaan ini yang pernah dikemukakan selama ini.
A.Bahwasanya manusia dalam segenap urusan hidup privat ataupun
sosialnya, mulai dari cara makan, cara mengenakan pakaian, cara
membangun tempat tinggal dan gedung, cara duduk dan berdiri, cara
berjalan dan tidur, sampai mendirikan pemerintahan, menentukan tugas-
tugas setiap pejabat dan menggariskan mekanisme pengelolaan negara,
juga bahkan menerangkan berbagai persoalan-persoalan ilmiah, harus
menunggu arahan-arahan dari agama. Dan, tanpa kita harus repot atau
menanggung sedikitpun beban dan ongkos penyelidikan, kita akan
mendapatkan keberhasilan sebanyak mungkin dari petunjuk agama.
Padangan di atas ini terhadap agama, yakni bahwa agama bertanggung
jawab memenuhi segala kebutuhan manusia, disebut juga dengan
Maksimalisme Agama (Din Haddeaksari). Berdasarkan pandangan ini,
agama menjamin pemenuhan segenap penantian dan harapan umat manusia.
Pada gilirannya, umat manusia tidak perlu lagi memanfaatkan atau
memberdayakan kekuatan akal dan mengembangkan potensi-potensi
karuniawinya.
Padangan demikian terhadap agama sesungguhnya tidaklah benar. Agama
sama sekali tidak pernah mengajukan klaim bahwa ia datang untuk
menggeser habis peranan akal dan membekukan kandungan potensial
manusia. Agama juga tidak datang dengan mendakwakan kehadirannya
sebagai penuntas segenap kebutuhan umat manusia.
Bertolak dari rapuhnya pandangan maksimalistik ini terhadap agama,
pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah, apakah ruang cakup agama
yang sebenarnya? Dan, dalam urusan apa saja manusia berkewajiban
mengikuti agama?
Inilah pertanyaan yang mengawali perseteruan sengit antara bapak-
bapak Gereja dan kalangan elite politik di Barat yang berlangsung
selama berabad-abad, dan berakhir dengan piagam perdamaian 'kosong'
yang memproklamasikan jawaban kedua berikut ini.
Pandangan demikian ini, yakni fungsi agama dianggap sebatas panjatan
pribadi atau ritual kolektif yang dilakukan di tempat-tempat
peribadatan seperti; gereja, masjid, dan semacamnya, dan sebatas
hubungan privat manusia dengan Tuhannya, dan sama sekali tidak
berurusan dengan kehidupan sosialnya, disamping tidak adanya dukungan
argumentasi yang sahih, juga tidak sesuai dengan kandungan agama-
agama samawi.
Sesungguhnya, sebagaimana yang kita ketahui, semua agama yang benar,
terlepas dari luang sempitnya sistem hukum masing-masing, hanya
mengajukan dakwaan bahwa umat manusia berkewajiban menyesuaikan dan
mengadaptasikan segenap perilakunya, baik pada urusan personal
ataupun sosial, dengan arahan-arahan agamanya, dan bahwa manusia
tidak bisa berbuat di dunia ini dengan sesuka hatinya. Demikian
ini tampak begitu jelas sekilas saja kita merujuk kepada kandungan-
kandungan ajaran semua agama samawi, khususnya agama Islam.
Bahwasanya kehidupan ukhrawi manusia merupakan hasil dan dampak sikap-
tindaknya di dunia. Yakni, manusia bisa melakukan perbuatan-perbuatan
yang bermanfaat untuk akhiratnya, sebagaimana ia juga bisa melakukan
serangkaian perbuatan yang merugikannya di akhirat. Manusia adalah
makhluk yang menjalani proses, dimana hakikat wujud dan pola hidupnya
di dunia terdefinisikan lewat perbuatan-perbuatannya. Maka, ia harus
memperhatikan hukum-hukum agama dalam memilih dan menentukan jalan
bertindak. Inilah pandangan Islam yang jernih. Pandangan yang tidak
bisa sepenuhnya kompromi dengan pandangan maksimalistik yang ekstrim
atau pun pandangan minimalistik yang sinis.
Penjelasannya adalah bahwa perbuatan manusia dalam pranata hukum
Islam terbagi kepada lima macam:
1.Wajib, yaitu perbuatan-perbuatan yang harus dilakukan sesuai
dengan cara tertentu seperti: salat, puasa, haji, dll.
2.Haram, yaitu perbuatan-perbuatan yang harus ditinggalkan
seperti: meminum minuman yang memabukkan, memperkosa hak-hak orang
lain.
3. Mustahab, yaitu perbuatan-perbuatan yang tidak harus
dilakukan, tetapi bermanfaat dalam mencapai kesempurnaan manusia
seperti: infak, sedekah, dll.
4.Makruh, yaitu perbuatan-perbuatan yang sebaiknya
ditinggalkan, meskipun tidak seharusnya.
5.Mubah, yaitu perbuatan-perbuatan dimana Islam tidak
memerintahkan atau melarangnya, tidak pula memberikan penekanan dan
dorongan atasnya.
Lima macam hukum ini yang berlaku pada seluruh perbuatan personal
atau sosial manusia, baik kecil maupun besar, sungguh berarti dalam
kaitannya dengan kebahagian dan keuntungan duniawi serta akhirat
manusia. Dengan kata lain, perbuatan-perbuatan yang harus kita
lakukan untuk memenuhi kebahagian adalah perbuatan wajib. Dan
perbuatan yang mau tidak mau harus kita tinggalkan untuk
menghindarkan diri dari kesengsaraaan disebut perbuatan haram.
Melakukan perkara-perkara yang mustahab dan meninggalkan perkara-
perkara yang makruh juga bermanfaat dalam mencapai kebahagiaan. Oleh
karena itu, semua itu sangat penting. Adapun mubah yaitu perkara-
perkara yang tidak ada pengaruhnya dalam kaitannya dengan kebahagiaan
ataupun dengan kesengsaraan manusia. Melakukan perkara mubah pada
dasarnya tidak menjauhkan pelakunya dari kesempurnaannya, tidak pula
mendekatkan kepadanya.
Oleh karena itu, tatkala Islam menetapkan salah satu dari lima hukum
di atas (wajib, haram, mustahab, maktuh dan mubah) atas setiap
perbuatan, bahkan atas setiap pikiran dan khayalan manusia, yang
berdasarkan ini pula semua perbuatan manusia ditimbang di dalam
kerangka sistem nilainya, pada saat yang sama, Islam sama sekali
tidak memberangus aktifitas dan peran akal dan mengharamkan
pencerahan pemikiran serta pengembangan potensi-potensi manusia.
Tetapi, dengan penjelasan-penjelasan yang beragam, Islam mendorong
untuk mencari ilmu, mengembangkan pemikiran, mendorong kemajuan dan
memanfaatkan pengalaman serta penemuan orang lain, walaupun jauh dari
jangkauan mereka. "Tuntutlah ilmu walau ada di Cina!".
Maka dari itu, Islam menempatkan dunia dan perbuatan-perbuatan
personal dan sosial manusia di dalamnya sebagai mukadimah, lahan,
sarana, dan syarat akhirat. Sementara kehidupan alam akhirat adalah
dampak dan hasil perbuatannya di dunia ini. Dengan begitu, Islam sama
sekali tidak akan pernah kompromi dengan pemikiran sekular, yakni
pemikiran yang mendepak agama dari ruang kehidupan sosial manusia,
dan membatasi peranannya sebatas hubungan-hubungan personal manusia
dengan Tuhannya.