Sexy Banget

Minggu, 26 September 2010

Antara Maksimalisme dan Minimalisme Agama

 Apakah yang dimaksud dengan Minimalisme Agama dan Maksimalisme Agama? 
Pada dasarnya, sejauh mana ruang lingkup peran agama dalam kehidpan 
umat manusia menurut pandangan Islam dan pandangan Barat? Terlepas 
dari apakah setiap agama itu menyimpan pesan-pesan dan ajaran-ajaran 
khas mengenai kehidupan manusia, dari balik tinjauan luar terhadap 
agama ada sebuah pertanyaan serius, yaitu; pada dasarnya, dalam 
perkara apa saja kita menantikan bantuan dan arahan agama?  Ada tiga 
jawaban atas pertanyaan ini yang pernah dikemukakan selama ini.
A.Bahwasanya manusia dalam segenap urusan hidup privat ataupun 
sosialnya, mulai dari cara makan, cara mengenakan pakaian, cara 
membangun  tempat tinggal dan gedung, cara duduk dan berdiri, cara 
berjalan dan tidur, sampai  mendirikan pemerintahan, menentukan tugas-
tugas setiap pejabat dan menggariskan mekanisme pengelolaan negara, 
juga bahkan menerangkan berbagai persoalan-persoalan ilmiah, harus 
menunggu arahan-arahan dari agama. Dan, tanpa kita harus repot atau 
menanggung sedikitpun beban dan ongkos penyelidikan, kita akan 
mendapatkan keberhasilan sebanyak mungkin dari petunjuk agama.
Padangan di atas ini terhadap agama, yakni bahwa agama bertanggung 
jawab memenuhi segala kebutuhan manusia, disebut juga dengan 
Maksimalisme Agama (Din Haddeaksari). Berdasarkan pandangan ini, 
agama menjamin pemenuhan segenap penantian dan harapan umat manusia. 
Pada gilirannya, umat manusia tidak  perlu lagi memanfaatkan  atau 
memberdayakan kekuatan akal dan mengembangkan potensi-potensi 
karuniawinya.
Padangan demikian terhadap agama sesungguhnya tidaklah benar. Agama 
sama sekali tidak pernah mengajukan klaim bahwa ia datang untuk 
menggeser habis peranan akal dan membekukan kandungan potensial 
manusia. Agama juga tidak datang dengan mendakwakan kehadirannya 
sebagai penuntas segenap kebutuhan umat manusia.
Bertolak dari rapuhnya pandangan maksimalistik ini terhadap agama, 
pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah, apakah ruang cakup agama 
yang sebenarnya? Dan, dalam urusan apa saja manusia berkewajiban 
mengikuti agama?
Inilah pertanyaan yang mengawali perseteruan sengit antara bapak-
bapak Gereja dan kalangan elite politik di Barat yang berlangsung 
selama berabad-abad, dan berakhir dengan  piagam perdamaian 'kosong' 
yang memproklamasikan jawaban kedua berikut ini.
Pandangan demikian ini, yakni  fungsi agama dianggap sebatas panjatan 
pribadi atau ritual  kolektif yang dilakukan di tempat-tempat 
peribadatan seperti; gereja, masjid, dan semacamnya, dan sebatas 
hubungan privat manusia dengan Tuhannya,  dan sama sekali tidak 
berurusan dengan kehidupan sosialnya, disamping tidak adanya dukungan 
argumentasi yang sahih, juga tidak sesuai dengan kandungan agama-
agama samawi.
Sesungguhnya, sebagaimana yang  kita ketahui, semua agama yang benar, 
terlepas dari luang sempitnya sistem hukum masing-masing, hanya 
mengajukan dakwaan bahwa umat manusia berkewajiban menyesuaikan dan 
mengadaptasikan segenap perilakunya, baik pada urusan personal 
ataupun sosial, dengan arahan-arahan agamanya, dan bahwa manusia 
tidak bisa   berbuat di dunia ini dengan sesuka hatinya.  Demikian 
ini tampak begitu jelas sekilas saja kita merujuk kepada kandungan-
kandungan ajaran semua agama samawi, khususnya agama Islam. 
Bahwasanya kehidupan ukhrawi manusia merupakan hasil dan dampak sikap-
tindaknya di dunia. Yakni, manusia bisa melakukan perbuatan-perbuatan 
yang bermanfaat untuk akhiratnya, sebagaimana ia juga bisa  melakukan 
serangkaian perbuatan yang merugikannya di akhirat. Manusia adalah 
makhluk yang menjalani proses, dimana hakikat wujud dan pola hidupnya 
di dunia terdefinisikan lewat perbuatan-perbuatannya. Maka,  ia harus 
memperhatikan hukum-hukum agama dalam memilih dan  menentukan jalan 
bertindak. Inilah pandangan  Islam yang jernih. Pandangan yang tidak 
bisa sepenuhnya kompromi dengan pandangan maksimalistik yang ekstrim 
atau pun pandangan  minimalistik yang sinis.
Penjelasannya adalah bahwa perbuatan manusia dalam pranata hukum 
Islam terbagi kepada  lima macam:
1.Wajib, yaitu perbuatan-perbuatan yang harus dilakukan sesuai 
dengan cara tertentu seperti: salat, puasa, haji, dll.
2.Haram, yaitu perbuatan-perbuatan yang harus ditinggalkan 
seperti: meminum minuman yang memabukkan, memperkosa hak-hak orang 
lain.
3. Mustahab, yaitu perbuatan-perbuatan yang tidak harus 
dilakukan, tetapi bermanfaat dalam mencapai kesempurnaan manusia 
seperti: infak, sedekah, dll.
4.Makruh, yaitu perbuatan-perbuatan yang sebaiknya 
ditinggalkan, meskipun tidak seharusnya.
5.Mubah, yaitu perbuatan-perbuatan dimana Islam tidak 
memerintahkan atau melarangnya, tidak pula memberikan penekanan dan 
dorongan atasnya.
Lima macam hukum ini yang  berlaku pada seluruh perbuatan personal 
atau sosial manusia, baik kecil maupun besar, sungguh berarti dalam 
kaitannya dengan kebahagian dan keuntungan duniawi serta akhirat 
manusia. Dengan kata lain, perbuatan-perbuatan yang harus kita 
lakukan untuk memenuhi kebahagian adalah perbuatan wajib. Dan 
perbuatan yang mau tidak mau harus kita tinggalkan untuk 
menghindarkan diri dari kesengsaraaan disebut perbuatan haram. 
Melakukan perkara-perkara yang mustahab dan meninggalkan perkara-
perkara yang makruh juga bermanfaat dalam mencapai kebahagiaan. Oleh 
karena itu, semua itu sangat penting. Adapun mubah yaitu perkara-
perkara yang tidak ada pengaruhnya dalam kaitannya dengan kebahagiaan 
ataupun dengan kesengsaraan manusia. Melakukan perkara mubah pada 
dasarnya tidak menjauhkan pelakunya dari kesempurnaannya, tidak pula 
mendekatkan kepadanya.
Oleh karena itu, tatkala Islam  menetapkan salah satu dari lima hukum 
di atas (wajib, haram, mustahab, maktuh dan mubah) atas setiap 
perbuatan, bahkan atas setiap pikiran dan khayalan manusia, yang 
berdasarkan  ini pula semua perbuatan manusia ditimbang di dalam 
kerangka sistem nilainya, pada saat yang sama, Islam sama sekali 
tidak memberangus aktifitas dan peran akal dan mengharamkan 
pencerahan pemikiran serta pengembangan potensi-potensi manusia. 
Tetapi, dengan penjelasan-penjelasan yang beragam, Islam mendorong 
untuk mencari ilmu, mengembangkan pemikiran, mendorong kemajuan dan 
memanfaatkan pengalaman serta penemuan orang lain, walaupun jauh dari 
jangkauan mereka. "Tuntutlah ilmu walau ada di Cina!".
Maka dari itu, Islam menempatkan dunia dan perbuatan-perbuatan 
personal dan sosial manusia di dalamnya sebagai mukadimah, lahan, 
sarana, dan syarat akhirat. Sementara kehidupan alam akhirat adalah 
dampak dan hasil perbuatannya di dunia ini. Dengan begitu, Islam sama 
sekali tidak akan pernah kompromi dengan pemikiran sekular, yakni 
pemikiran yang mendepak agama dari ruang kehidupan sosial manusia, 
dan membatasi peranannya sebatas hubungan-hubungan personal manusia 
dengan Tuhannya.

Jumat, 24 September 2010

Fenomenologi Agama

Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, “phainein,” yang berarti “memperlihatkan,” yang dari kata ini muncul kata phainemenon yang berarti “sesuatu yang muncul.”
Atau sederhananya, fenomenologi dianggap sebagai “kembali kepada benda itu sendiri” (back to the things themselves). Istilah ini diduga pertama kali diperkenalkan oleh seorang filosof Jerman, Edmund Husserl. Namun, menurut Kockelmas, istilah fenomenologi digunakan pertama kali pada tahun 1765 dalam filsafat dan kadang-kadang disebut pula dalam tulisan-tulisannya Kant, namun hanya melalui Hegel makna teknis yang didefinisikan dengan baik tersebut dibangun.
Bagi Hegel, fenomenologi berkaitan dengan pengetahuan sebagaimana ia tampak kepada kesadaran, sebuah ilmu yang menggambarkan apa yang dipikirkan, dirasa dan diketahui oleh seseorang
dalam kesadaran dan pengalamannya saat itu. Proses tersebut mengantarkan pada perkembangan kesadaran fenomenal melalui sains dan filsafat “menuju pengetahuan yang absolut tentang Yang Absolut”. Filsafat Hegel memberikan dasar bagi studi agama nantinya. Dalam bukunya, The Phenomenology of Spirit (1806), Hegel mengembangkan tesis bahwa esensi (Wesen) dipahami melalui penyelidikan terhadap tampilantampilan dan perwujudan-perwujudan. Maksud Hegel adalah ingin memperlihatkan bagaimana ini mengantarkan kepada suatu pemahaman bahwa semua fenomena, dalam keberagamannya, berakar pada esensi atau kesatuan yang mendasar (Geist atau Spirit). Permainan tentang hubungan antara esensi dan manifestasi ini memberikan dasar bagi pemahaman tentang bagaimana agama, dalam keberagamannya, dapat dipahami sebagai entitas yang berbeda. Ia juga, berdasarkan pada realitas transenden, yang tidak terpisah dari namun dapat dilihat dalam dunia, memberikan kepercayaan kepada pentingnya agama sebagai sebuah objek studi karena kontribusi yang bisa diberikan kepada pengetahuan “saintifik”.
Sedangkan, menurut formulasi Husserl, fenomenologi merupakan sebuah studi tentang struktur kesadaran yang memungkinkan kesadarankesadaran tersebut menunjuk kepada objek-objek diluar dirinya. Studi ini membutuhkan refleksi tentang isi pikiran dengan mengesampingkan segalanya. Husserl menyebut tipe refleksi ini “reduksi fenomenologis.” Karena pikiran bisa diarahkan kepada objek-objek yang non-eksis dan riil, maka Husserl mencatat bahwa refleksi fenomenologis tidak mengganggap bahwa sesuatu itu ada, namun lebih tepatnya sama dengan “pengurungan sebuah keberadaan,” yaitu mengesampingkan pertanyaan tentang  keberadaan yang riil dari objek yang dipikirkan. Husserl memunculkan beberapa poin penting. Namun, yang nantinya menjadi titik tolak metodologis yang bernilai bagi fenomenologi agama adalah: epoché dan eidetic vision. Epoché merujuk kepada makna “menunda semua penilaian”, atau ia sama dengan makna  “pengurungan” (bracketing). Ini berarti ketiadaan praduga-praduga yang akan mempengaruhi pemahaman yang diambil dari sesuatu. Dengan kata lain, membawa konsep-konsep dan konstruk-konstruk pandangan seseorang kepada penyelidikannya dilihat sebagai sebuah pengaruh yang merusak terhadap hasil-hasilnya. Eidetic vision berhubungan dengan kemampuan untuk melihat apa yang sebenarnya ada di sana. Ia mengharuskan tindakan epoché, memperkenalkan kapasitas untuk melihat secara objektif
esensi sebuah fenomena, namun juga mengarahkan isu tentang subjektifitas persepsi dan refleksi. Ia juga menganggap benar kapasitas untuk memperoleh pemahaman intuitif tentang suatu fenomena yang
bisa dibela sebagai pengetahuan yang “objektif”.
Untuk lebih jelas dan singkatnya, akan diringkas beberapa karakteristik fenomenologi filosofis yang memiliki relevansi dengan fenomenologi agama.
— Watak deskriptif. Fenomenologi berupaya untuk menggambarkan watak fenomena, cara tentang tampilan mewujudkan dirinya, dan struktur-struktur esensial pada dasar pengalaman manusia.
— Antireduksionisme. Pembebasan dari prakonsepsi-prakonsepsi tidak kritis yang menghalangi mereka dari  menyadari kekhususan dan perbedaan fenomena, lalu memberikan ruang untuk memperluas dan
memperdalam pengalaman dan menyediakan deskripsi-deskripsi yang lebih akurat tentang pengalaman ini.
— Intensionalitas. Cara menggambarkan bagaimana kesadaran membentuk fenomena. Untuk menggambarkan, mengidentifikasi, dan menafsirkan makna sebuah fenomena, seorang fenomenolog perlu
memperhatikan struktur-struktur intensional dari datanya, dan strukturstruktur intensional dari kesadaran dengan rujukan dan maknanya yang diinginkan.
— Pengurungan (epoché). Diartikan sebagai penundaan penilaian. Hanya dengan mengurung keyakinan-keyakinan dan penilaian-penilaian yang didasari pada pandangan alami yang tidak teruji, seorang fenomenolog dapat mengetahui fenomena pengalaman dan memperoleh wawasan tentang struktur-struktur dasarnya.
— Eidetic vision. Adalah pemahaman kognitif (intuisi) tentang esensi, seringkali dideskripiskan juga sebagai eidetic reduction, yang mengandung pengertian “esensi-esensi universal”. Esensi-esensi ini mengekspresikan “esensi” (whatness) dari sesuatu, ciri-ciri yang penting dan tidak berubah dari suatu  fenomena yang memungkinkan kita mengenali fenomena sebagai fenomena jenis tertentu.

Senin, 13 September 2010

Kebijaksanaan Cinta

Ketika seseorang berfikir tentang "cinta", seorang bijak justru
menemukan 10 kunci kebijaksanaan cinta dalam kehidupannya. Ia berpesan,
"Jangan pernah kamu melupakan kesepuluh kunci ini ketika kamu mulai
berfikir untuk mencintai seseorang",
1. Sangatlah menyakitkan mencintai seseorang, tetapi ia tidak
mencintai kita. Namun lebih menyakitkan bila mencintai tetapi tidak
memiliki keberanian untuk menyatakannya.
2. Hanya perlu satu menit untuk menghancurkan seseorang karena
cinta, satu jam untuk menyukai seseorang atau satu hari untuk
mencintainya. Tetapi membutuhkan waktu seumur hidup untuk
memulihkan luka-luka karena cinta. Melupakan bukan selalu berarti
memaafkan. Maka jangan pernah lari dari kenyataan cinta.
3. Mungkin Tuhan menginginkan kita untuk bertemu dengan orang yang
tidak tepat sebelum kita menemukan orang yang tepat. Supaya
ketika kita bertemu dengan orang yang tepat kita akan sadar
betapa berharganya anugerah itu.
4. Cinta adalah ketika kamu menerima seluruh kelemahan kekasihmu,
memeluknya sambil berkata "apapun yang terjadi aku tetap
mencintai kelemahan mu" dan selalu ada air mata yang
menyertai "Aku Cinta Padamu".
5. Benarlah bahwa kita tidak tahu apa yang kita dapatkan sampai kita
kehilangan itu, Tetapi benar juga bahwa kita tidak tahu apa yang
hilang sampai itu ada. maka sadarlah yang terbaik adalah yang Tuhan
berikan bagi kita.
6. Janganlah mengharapkan cinta sebagai balasan, tunggulah sampai
cinta itu bertumbuh dalam hatinya,jika tidak pastikan bahwa cinta
itu tetap tumbuh dalam hatimu. Cinta yang murni adalah cinta yang
hanya mengenal satu kata, yaitu "Memberi"
7. Ada hal yang ingin kamu dengar dari dia, tetapi dia diam seribu
bahasa, walau demikian janganlah kamu menjadi tuli ketika
seseorang meneriakkan cinta dihatimu.
8. Jangan pernah berkata "Selamat tinggal" jika hatimu masih ingin
mencobanya, jangan menyerah ketika kamu merasa masih dapat
maju. Jangan pernah berkata "Aku tidak mencintaimu lagi" kalau
kamu tidak dapat membiarkannya pergi untuk selamanya.
9. Cinta datang kepada mereka yang masih mempunyai harapan,
walaupun 1001 kali mereka dikecewakan, kepada mereka yang masih
percaya meskipun mereka telah dikhianati, kepada mereka
yang memiliki keberanian untuk membangun kepercayaan "sekali
lagi" ketika kekecewaan itu ada.
10. Permulaan cinta adalah membiarkan mereka yang kita cinta menjadi
diri mereka sendiri, orang berbahagia karena cinta tidak pernah
memiliki seluruh apa yang mereka impikan, mereka hanya melakukan
1 hal yaitu cinta yang cukup untuk menutup kelemahan kekasih
mereka .....

Teman-teman yang mendukung, yaitu :