Ibrahim al-Khawas ialah seorang wali Allah yang terkenal keramat dan dimakbulkan segala doanya oleh Tuhan. Beliau pernah menceritakan suatu peristiwa yang pernah dialaminya. Katanya, "Menurut kebiasaanku, aku keluar menziarahi Mekah tanpa kenderaan dan kafilah. Pada suatu kali, tiba-tiba aku tersesat jalan dan kemudian aku berhadapan dengan seorang rahib Nasrani (Pendita Kristian)."
Bila dia melihat aku dia pun berkata, "Wahai rahib Muslim, bolehkah aku bersahabat denganmu?"
Ibrahim segera menjawab, "Ya, tidaklah aku akan menghalangi kehendakmu itu."
Maka berjalanlah Ibrahim bersama dengannya selama tiga hari tanpa meminta makanan sehinggalah rahib itu menyatakan rasa laparnya kepadaku, katanya, "Tiadalah ingin aku memberitakan kepadamu bahwa aku telah menderita kelaparan. Kerana itu berilah aku sesuatu makanan yang ada padamu."Mendengar permintaan rahib itu, lantas Ibrahim pun bermohon kepada Allah dengan berkata, "Wahai Tuhanku, Pemimpinku, Pemerintahku, janganlah engkau memalukan aku di hadapan seteru engkau ini."
Belum pun habis Ibrahim berdoa, tiba-tiba turunlah setalam hidangan dari langit berisi dua keping roti, air minuman, daging masak dan tamar. Maka mereka pun makan dan minum bersama dengan seronok sekali.
"Sesudah itu aku pun meneruskan perjalananku. Sesudah tiga hari tiada makanan dan minuman, maka di kala pagi, aku pun berkata kepada rahib itu, "Hai rahib Nasrani, berikanlah ke mari sesuatu makanan yang ada kamu. Rahib itu menghadap kepada Allah, tiba-tiba turun setalam hidangan dari langit seperti yang diturunkan kepadaku dulu."
Sambung Ibrahim lagi, "Tatkala aku melihat yang demikian, maka aku pun berkata kepada rahib itu - Demi kemuliaan dan ketinggian Allah, tiadalah aku makan sehingga engkau memberitahukan (hal ini) kepadaku."
Jawab rahib itu, "Hai Ibrahim, tatkala aku bersahabat denganmu, maka jatuhlah telekan makrifah (pengenalan) engkau kepadaku, lalu aku memeluk agama engkau. Sesungguhnya aku telah membuang-buang masa di dalam kesesatan dan sekarang aku telah mendekati Allah dan berpegang kepada-Nya. Dengan kemuliaan engkau, tiadalah dia memalukan aku. Maka terjadilah kejadian yang engkau lihat sekarang ini. Aku telah mengucapkan seperti ucapanmu (kalimah syahadah)."
"Maka sucitalah aku setelah mendengar jawapan rahib itu. Kemudian aku pun meneruskan perjalanan sehingga sampai ke Mekah yang mulia. Setelah kami mengerjakan haji, maka kami tinggal dua tiga hari lagi di tanah suci itu. Suatu ketika, rahib itu tiada kelihatan olehku, lalu aku mencarinya di masjidil haram, tiba-tiba aku mendapati dia sedang bersembahyang di sisi Kaabah."
Setelah selesai rahib itu bersembahyang maka dia pun berkata, "Hai Ibrahim, sesungguhnya telah hampir perjumpaanku dengan Allah, maka peliharalah kamu akan persahabatan dan persausaraanku denganmu."
Sebaik saja dia berkata begitu, tiba-tiba dia menghembuskan nafasnya yang terakhir iaitu pulang ke rahmatullah. Seterusnya Ibrahim menceritakan, "Maka aku berasa amat dukacita di atas pemergiannya itu. Aku segera menguruskan hal-hal pemandian, kapan dan pengebumiannya. Apabila malam aku bermimpi melihat rahib itu dalam keadaan yang begitu cantik sekali tubuhnya dihiasi dengan pakaian sutera yang indah."
Melihatkan itu, Ibrahim pun terus bertanya, "Bukankah engkau ini sahabat aku kelmarin, apakah yang telah dilakukan oleh Allah terhadap engkau?"
Dia menjawab, "Aku berjumpa dengan Allah dengan dosa yang banyak, tetapi dimaafkan dan diampunkan-Nya semua itu kerana aku bersangka baik (zanku) kepada-Nya dan Dia menjadikan aku seolah-olah bersahabat dengan engkau di dunia dan berhampiran dengan engkau di akhirat."
Begitulah persahabatan di antara dua orang yang berpengetahuan dan beragama itu akan memperolehi hasil yang baik dan memuaskan. Walaupun salah seorang dahulunya beragama lain, tetapi berkat keikhlasan dan kebaktian kepada Allah, maka dia ditarik kepada Islam dan mengalami ajaran-ajarannya."
Sebagai Sarana Menjelajah Dunia Baru dan Berbagi yang berikan tulisan-tulisan dan semacamnya
Sexy Banget
Selasa, 19 Oktober 2010
Minggu, 26 September 2010
Antara Maksimalisme dan Minimalisme Agama
Apakah yang dimaksud dengan Minimalisme Agama dan Maksimalisme Agama? Pada dasarnya, sejauh mana ruang lingkup peran agama dalam kehidpan umat manusia menurut pandangan Islam dan pandangan Barat? Terlepas dari apakah setiap agama itu menyimpan pesan-pesan dan ajaran-ajaran khas mengenai kehidupan manusia, dari balik tinjauan luar terhadap agama ada sebuah pertanyaan serius, yaitu; pada dasarnya, dalam perkara apa saja kita menantikan bantuan dan arahan agama? Ada tiga jawaban atas pertanyaan ini yang pernah dikemukakan selama ini.
A.Bahwasanya manusia dalam segenap urusan hidup privat ataupun sosialnya, mulai dari cara makan, cara mengenakan pakaian, cara membangun tempat tinggal dan gedung, cara duduk dan berdiri, cara berjalan dan tidur, sampai mendirikan pemerintahan, menentukan tugas- tugas setiap pejabat dan menggariskan mekanisme pengelolaan negara, juga bahkan menerangkan berbagai persoalan-persoalan ilmiah, harus menunggu arahan-arahan dari agama. Dan, tanpa kita harus repot atau menanggung sedikitpun beban dan ongkos penyelidikan, kita akan mendapatkan keberhasilan sebanyak mungkin dari petunjuk agama.
Padangan di atas ini terhadap agama, yakni bahwa agama bertanggung jawab memenuhi segala kebutuhan manusia, disebut juga dengan Maksimalisme Agama (Din Haddeaksari). Berdasarkan pandangan ini, agama menjamin pemenuhan segenap penantian dan harapan umat manusia. Pada gilirannya, umat manusia tidak perlu lagi memanfaatkan atau memberdayakan kekuatan akal dan mengembangkan potensi-potensi karuniawinya.
Padangan demikian terhadap agama sesungguhnya tidaklah benar. Agama sama sekali tidak pernah mengajukan klaim bahwa ia datang untuk menggeser habis peranan akal dan membekukan kandungan potensial manusia. Agama juga tidak datang dengan mendakwakan kehadirannya sebagai penuntas segenap kebutuhan umat manusia.
Bertolak dari rapuhnya pandangan maksimalistik ini terhadap agama, pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah, apakah ruang cakup agama yang sebenarnya? Dan, dalam urusan apa saja manusia berkewajiban mengikuti agama?
Inilah pertanyaan yang mengawali perseteruan sengit antara bapak- bapak Gereja dan kalangan elite politik di Barat yang berlangsung selama berabad-abad, dan berakhir dengan piagam perdamaian 'kosong' yang memproklamasikan jawaban kedua berikut ini.
Pandangan demikian ini, yakni fungsi agama dianggap sebatas panjatan pribadi atau ritual kolektif yang dilakukan di tempat-tempat peribadatan seperti; gereja, masjid, dan semacamnya, dan sebatas hubungan privat manusia dengan Tuhannya, dan sama sekali tidak berurusan dengan kehidupan sosialnya, disamping tidak adanya dukungan argumentasi yang sahih, juga tidak sesuai dengan kandungan agama- agama samawi.
Sesungguhnya, sebagaimana yang kita ketahui, semua agama yang benar, terlepas dari luang sempitnya sistem hukum masing-masing, hanya mengajukan dakwaan bahwa umat manusia berkewajiban menyesuaikan dan mengadaptasikan segenap perilakunya, baik pada urusan personal ataupun sosial, dengan arahan-arahan agamanya, dan bahwa manusia tidak bisa berbuat di dunia ini dengan sesuka hatinya. Demikian ini tampak begitu jelas sekilas saja kita merujuk kepada kandungan- kandungan ajaran semua agama samawi, khususnya agama Islam.
Bahwasanya kehidupan ukhrawi manusia merupakan hasil dan dampak sikap- tindaknya di dunia. Yakni, manusia bisa melakukan perbuatan-perbuatan yang bermanfaat untuk akhiratnya, sebagaimana ia juga bisa melakukan serangkaian perbuatan yang merugikannya di akhirat. Manusia adalah makhluk yang menjalani proses, dimana hakikat wujud dan pola hidupnya di dunia terdefinisikan lewat perbuatan-perbuatannya. Maka, ia harus memperhatikan hukum-hukum agama dalam memilih dan menentukan jalan bertindak. Inilah pandangan Islam yang jernih. Pandangan yang tidak bisa sepenuhnya kompromi dengan pandangan maksimalistik yang ekstrim atau pun pandangan minimalistik yang sinis.
Penjelasannya adalah bahwa perbuatan manusia dalam pranata hukum Islam terbagi kepada lima macam:
1.Wajib, yaitu perbuatan-perbuatan yang harus dilakukan sesuai dengan cara tertentu seperti: salat, puasa, haji, dll.
2.Haram, yaitu perbuatan-perbuatan yang harus ditinggalkan seperti: meminum minuman yang memabukkan, memperkosa hak-hak orang lain.
3. Mustahab, yaitu perbuatan-perbuatan yang tidak harus dilakukan, tetapi bermanfaat dalam mencapai kesempurnaan manusia seperti: infak, sedekah, dll.
4.Makruh, yaitu perbuatan-perbuatan yang sebaiknya ditinggalkan, meskipun tidak seharusnya.
5.Mubah, yaitu perbuatan-perbuatan dimana Islam tidak memerintahkan atau melarangnya, tidak pula memberikan penekanan dan dorongan atasnya.
Lima macam hukum ini yang berlaku pada seluruh perbuatan personal atau sosial manusia, baik kecil maupun besar, sungguh berarti dalam kaitannya dengan kebahagian dan keuntungan duniawi serta akhirat manusia. Dengan kata lain, perbuatan-perbuatan yang harus kita lakukan untuk memenuhi kebahagian adalah perbuatan wajib. Dan perbuatan yang mau tidak mau harus kita tinggalkan untuk menghindarkan diri dari kesengsaraaan disebut perbuatan haram. Melakukan perkara-perkara yang mustahab dan meninggalkan perkara- perkara yang makruh juga bermanfaat dalam mencapai kebahagiaan. Oleh karena itu, semua itu sangat penting. Adapun mubah yaitu perkara- perkara yang tidak ada pengaruhnya dalam kaitannya dengan kebahagiaan ataupun dengan kesengsaraan manusia. Melakukan perkara mubah pada dasarnya tidak menjauhkan pelakunya dari kesempurnaannya, tidak pula mendekatkan kepadanya.
Oleh karena itu, tatkala Islam menetapkan salah satu dari lima hukum di atas (wajib, haram, mustahab, maktuh dan mubah) atas setiap perbuatan, bahkan atas setiap pikiran dan khayalan manusia, yang berdasarkan ini pula semua perbuatan manusia ditimbang di dalam kerangka sistem nilainya, pada saat yang sama, Islam sama sekali tidak memberangus aktifitas dan peran akal dan mengharamkan pencerahan pemikiran serta pengembangan potensi-potensi manusia. Tetapi, dengan penjelasan-penjelasan yang beragam, Islam mendorong untuk mencari ilmu, mengembangkan pemikiran, mendorong kemajuan dan memanfaatkan pengalaman serta penemuan orang lain, walaupun jauh dari jangkauan mereka. "Tuntutlah ilmu walau ada di Cina!".
Maka dari itu, Islam menempatkan dunia dan perbuatan-perbuatan personal dan sosial manusia di dalamnya sebagai mukadimah, lahan, sarana, dan syarat akhirat. Sementara kehidupan alam akhirat adalah dampak dan hasil perbuatannya di dunia ini. Dengan begitu, Islam sama sekali tidak akan pernah kompromi dengan pemikiran sekular, yakni pemikiran yang mendepak agama dari ruang kehidupan sosial manusia, dan membatasi peranannya sebatas hubungan-hubungan personal manusia dengan Tuhannya.
Langganan:
Postingan (Atom)