1. Tradisi Katolik
Steenbrink lahir dalam lingkungan keluarga Katolik, yang kemudian Steenbrink membandingkannya dengan tradisi seperti Nahdlatul Ulama’ di Indonesia, dalam arti sama-sama lebih toleran terhadap ajaran dan khususnya terhadap praktek yang belum sempurna, seperti ziarah kubur makan dan tempat-tempat ziarah yang khusus. Dalam ibadah, Katolik juga lebih mementingkan aspek lahiriyah dan (Ali Farhan) badaniyah. Hadiah bunga dan membakar kemenyan juga terdapat di sana. Dalam bidang pemikiran keagamaan, dalam tradisi Katolik jarang di temui pemikir uang berubah pemikirannya begitu drastis dan radikal, seperti ditemukan dalam tradisi Protestan. Kebanyakan tradisi Katolik bersifat moderat, kurang keras, sehingga ada yang menuduhnya bersifat kompromistis. Nampaknya tradisi ini juga melekat pada diri Steenbrink.
Dalam gereja Katolik wibawa Sri-Paus memperoleh kedudukan yang sangat kuat. Hal ini berbeda dengan gereja protestan, dimana prioritas di berikan kepada hati nurani masing-masing anggota jemaat. Karena memang aliran ini muncul justru karena protes terhadap kuasa sentral yang terlalu kuat. Pada tahun 1870 kuasa yang sentralistik ini mencapai puncaknya di dalam gereja katolik lewat konsil Vatikan I, yang menetapkan bahwa Sri-Paus, didalam persoalan aqidah dan etika, tidak bisa keliru kalau dia mengucapkan sebuah keputusan (fatwa) secara formal. Namun, meski rumusan ajaran ini di terima secara resmi oleh para uskup yang hadir pada konsil itu, tidak berarti bahwa ahli teologi Katolik seluruhnya menyetujui. Inilah ciri khas yang lain tradsi Katolik, dimana secara praktis tradisi ini memuat banyak variasi di dalamnya.
Tentang kehidupan dalam gereja Katolik Steenbrink memberikan ilustrasi:”Dalam Katolik, gereja dianggap sebagai ibu. Kiasan ni kerap kali di pakai sejak abad-abad pertama, sehingga timbul pepatah;”tidak bisa memiliki Allah sebagai Bapa, kalau tidak mendapatkan hereja sebagai ibu (Cyprianus, lk 200-250). Tetapi dianggap bisa juga, kalau ibu mendapatkan anak-anak yang nakal. Anak-anak nakal ini memang akan di tegur oleh ibunya, tetapi juga tetap akan diakui sebagai anaknya.
2. Pengaruh Tokoh “Konversi Agama”
Konversi Agama adalah “suatu sikap yang hendak menggunakan agama justru untuk menyatukan umat mnanusia”. Istilah Konversi Agama merupakan istilah yang di temukan dalam beberapa karya Steenbrink sendiri. Meski tidak menutup kemungkinan bahwa banyak tokoh telah tertarik (dalam arti memilih jalan hidup) dengan sikap ini, namun yang tampak memiliki arti tersendiri pada diri Steenbrink adalah Louis Messignon, W. Montgomery Watt, dan Wilfred Cantwell Smith. Sebagai bukti, bisa dilihat, bahwa ketiga tokoh ini sering di jadikan rujukan Steenbrink dalam beberapa karyannya, terutama dalam meyakinkan perlunya dialog antar agama. Tidak hanya itu, ketiganya Steenbrink juga mewarisi pengalaman yang kurang lebih sama dengnan apa yang pernah dialami oleh ketiga tokoh konvergensi agama itu, bahkan ia sering melakukan kegiatan — yang dianggap pemeluk agama lain dengan ritual, diluar tradisi agamanya. Maka tidak mengherankan jika dalam rangka melakukan penelitiannya tentang pesantren, ia di terima sebagai santri di Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor Ponorogo. Dalam arti sama seperti santri yang lain, di beri pelayanan pengajaran, tempat tinggal, malah juga di perbolehkan mengikuti sholat dalam masjid. Meski ia mengaku sebagai orang Katolik kepada Kiai Imam Zarkashi (alm)
Pilihan sikap hidup ini di gambarkan Steenbrink: “…tidak jarang tokoh seperti ini berada dalam situasi kepribadian yang agak sulit: oleh ummatnya sendiri, ia sering dianggap sebagai orng yang hampir keluar dari agamnya, sedangkan oleh umat lain sering juga belum bisa diterima. Denngn demikian, tokoh konvergensi ini sering merupakan tokoh yang kedudukannya terisolir.”
Pernyataan Steenbrink ini, meski ditujukan kepada tiga tokoh konvergensi agama tersebut, namun kesannya merupakan refleksi terhadap apa yang sebenarnya juga terjadi dalam diri Steenbrink sendiri.
Sebagai Sarana Menjelajah Dunia Baru dan Berbagi yang berikan tulisan-tulisan dan semacamnya
Sexy Banget
Kamis, 02 Desember 2010
Biografi Karel A. Steenbrink
Karel A. Steenbrink lahir di Breda, negeri belanda 1942. ia sebagai anak ke 10 dari-12 dalam lingkungan keluarga dan tradisi Katolik yang taat. Di tengah keluarga itu, ia memang sudah terbiasa dengan kehidupan yang ‘pluralis’ sebagaimana dia temukan dalam sikap orang tuanya. “…sikap keagamaan ayah dan ibu agak berbeda malah kadang bertentangan,”Demikian Steenbrink. Ayahnya seorang ritualais, suka berpegang kepada peraturan yang di berikan dari atas, senang ikut kebaktian formal, yaitu misa kudus setiap pagi di Gereja Paroki. Sedang ibunya jarang pergi beribadat di gereja selain pada hari Minggu; sang ibu lebih cenderung pada ibadat individual. Kalau pulang dari pasar, ibunya mampir sebentar di Gereja Ketedral, membakar lilin di depan patung Maria, kemudian duduk hening berapa menit. Demikian ini di rasakannya sudah cukup. Karel A. Steenbrink, “baginya jauh lebih penting menemani semua anaknya pada sarapan pagi, duduk, ngobrol, minum teh bersama, dari pada terlalu sering ke gereja. “Sementara sang ayah sebegitu suka pada patung, mambakar lilin apalagi berziarah yang di sertai piknik dan ekskursi bertamasya. Itu dianggap terlalu mencampuri keseriusan agama dengan tujuan rekreasi belaka. “walaupun ada perebedaan seperti itu, maka dapat hidup dalam suatu perkawinan yang bahagia selama 55 tahun dan tetap beragama katolik sampai wafat, “demikian Steenbrink.
Di kota ke lahirannya itu, ia memperoleh pendidikan tradisional, dimana masih diajarkan bahasa “klasik”, yaitu Yunani dan Latin. Bahkan ketika duduk di sekolah menengah, Steenbrink sempat belajar bahasa Latin selama 6 tahun dan bahasa Yunani selama 5 tahun dengan guru pastur Katolik. Pada sekolah ini Steenbrink mulai menunjukkan sikap yang kritis, misalnya ketika diajarkan beberapa bahan, misalnya mengenai cerita tentang para dewa dan para ahli filsafat Latin dan Yunani: Vergillius, Ovidus, Homerus, Plato, Heredotus, termasuk cerita yang aneh-aneh mengenai dewa yang melihat wanita cantik di bumi ini dan berkunjung kepadanya yang akhirnya keluarga dewapun bertambah lagi, maka ia pun bertanya kepada gurunya: kapan kita akan mulai membaca Injil? Di jawab: “Injil di tulis dalam bahasa Yunani yang kurang sempurna! Jangan membaca itu sekarang.
Selanjutnya setelah menamatkan studinya pada sekolah menengah, ia melanjtukan ke sekolah teologi pada Catholic University of Nijmagen, belanda dan mendapat gelar MA (1970). Karena merasa tidak puas dengan studinya yang hannya mempelajari bahan kuliah dari buku saja, maka ia mencari kemungkinan untuk mendapatkan pengalaman. Setelah mendapatkan sponsor dan melakukan lobbying, kemudian ia berkesempatan mengadakan penelitian mengenai pesantren di Indonesia (1970-1971). Untuk ia mendapat gelar Ph.D dengan disertasi yanng berjudul: Pesantren, Madrasah, Sekolah: Recente Ontwikkelingen Indonesisch Islamoderricht (with English summary)
Karirnya dimulai pada tahun 1973-1978 sebagai guru agama pada School di Eindhoven tahun 1978-1989 berkesempatan mengikuti program kerjasama antara Universitas Leiden dan Institut Agama Islam Negeri (The National Institute of Islamic Studies of Indonesian), yaitu di Leiden (1978-1979), Jakarta (1981-1983) dan Yogyakarta (1984-1988): sejak 1989-(sampai sekarang) sebagai penelity senior pada IIMO (the interuniversity Institute of Islamic Studies, McGill University di Monstreal, Canada.
Saat ini di samping menjalankan tugasnya di IIMO pada dept. of Religion Utrecht University, bersama Paule, sang istri, Steenbrink banyak menghabiskan waktunya bagi upaya-upaya untuk dialog dan hubungan antar agama, misalnya mengelola majalah Begrip, untuk hubungan antar agama, misalnya mengelola majalah Begrip, untuk hubungan Kristen-Muslim di Belanda, majalah Steenbrink-Times, dan lain-lain.
Di kota ke lahirannya itu, ia memperoleh pendidikan tradisional, dimana masih diajarkan bahasa “klasik”, yaitu Yunani dan Latin. Bahkan ketika duduk di sekolah menengah, Steenbrink sempat belajar bahasa Latin selama 6 tahun dan bahasa Yunani selama 5 tahun dengan guru pastur Katolik. Pada sekolah ini Steenbrink mulai menunjukkan sikap yang kritis, misalnya ketika diajarkan beberapa bahan, misalnya mengenai cerita tentang para dewa dan para ahli filsafat Latin dan Yunani: Vergillius, Ovidus, Homerus, Plato, Heredotus, termasuk cerita yang aneh-aneh mengenai dewa yang melihat wanita cantik di bumi ini dan berkunjung kepadanya yang akhirnya keluarga dewapun bertambah lagi, maka ia pun bertanya kepada gurunya: kapan kita akan mulai membaca Injil? Di jawab: “Injil di tulis dalam bahasa Yunani yang kurang sempurna! Jangan membaca itu sekarang.
Selanjutnya setelah menamatkan studinya pada sekolah menengah, ia melanjtukan ke sekolah teologi pada Catholic University of Nijmagen, belanda dan mendapat gelar MA (1970). Karena merasa tidak puas dengan studinya yang hannya mempelajari bahan kuliah dari buku saja, maka ia mencari kemungkinan untuk mendapatkan pengalaman. Setelah mendapatkan sponsor dan melakukan lobbying, kemudian ia berkesempatan mengadakan penelitian mengenai pesantren di Indonesia (1970-1971). Untuk ia mendapat gelar Ph.D dengan disertasi yanng berjudul: Pesantren, Madrasah, Sekolah: Recente Ontwikkelingen Indonesisch Islamoderricht (with English summary)
Karirnya dimulai pada tahun 1973-1978 sebagai guru agama pada School di Eindhoven tahun 1978-1989 berkesempatan mengikuti program kerjasama antara Universitas Leiden dan Institut Agama Islam Negeri (The National Institute of Islamic Studies of Indonesian), yaitu di Leiden (1978-1979), Jakarta (1981-1983) dan Yogyakarta (1984-1988): sejak 1989-(sampai sekarang) sebagai penelity senior pada IIMO (the interuniversity Institute of Islamic Studies, McGill University di Monstreal, Canada.
Saat ini di samping menjalankan tugasnya di IIMO pada dept. of Religion Utrecht University, bersama Paule, sang istri, Steenbrink banyak menghabiskan waktunya bagi upaya-upaya untuk dialog dan hubungan antar agama, misalnya mengelola majalah Begrip, untuk hubungan antar agama, misalnya mengelola majalah Begrip, untuk hubungan Kristen-Muslim di Belanda, majalah Steenbrink-Times, dan lain-lain.
Langganan:
Komentar (Atom)