Agama dan kemiskinan
A. Pendahuluan
Bagi Karl Marx, kritik agama menjadi jalan untuk masuk pada kritik masyarakat karena kritikan agama adalah kritik terhadap masyarakat yang memproduksi agama. Dan dalam hal ini Marx mencoba menggambarkan apa yang terjadi pada masyarakat. Ia melihat kondisi masyarakat banyak dari masyarakat yang hidup masih kekurangan, Marx beranggapan bahwa semua ini disebabkan oleh agama. Agama tidak lain adalah produk dari masyarakat kelas dan merupakan gambaran dari kepentingan kelas. Marx beranggapan, bahwa agama dijadikan sebagai salah satu alat untuk memanipulasi dan menindas terhadap kelas bawah dalam masyarakat (buruh). Dengan penindasan yang terjadi, agama lalu menjadi tempat untuk mengharapkan penghiburan akan dunia yang mendatang. Dengan kata lain, agama membuat manusia menjadi tebuka dari dirinya sendiri.
Kemudian bagaimana Marx melihat agama, dan Apa menjadikan Marx tertarik terhadap persoalan agama? Sedangkan Marx sendiri menganggab agama menjadi penghalang dalam hidup. Agama menurutnya hanya sebagai candu. Dan Marx memilki keyakinan bahwa masyarakat akan membentuk kodrat manusia dan bukannya sebaliknya,hal tersebut dapat dilakukan dengan melakukan suatu revolusi / perubahan. Dan pandangannya tersut, menganggab bahwa “manusia merupakan makhluk yang tertinggi”. [1]
B. Riwayat Hidup
Karl Marx merupakan tokoh filsafat yang lahir di Jerman daerah Trier (1818-1883). Ia merupakan dari keluarga kelas menengah, dan keluarganya adalah Yahudi. Karl Marx pernah belajar ilmu hukum di Bonn (terutama di Berlin). Kemudian pada masa-masa belajarnya, Marx mulai tertarik untuk mempelajari filsafat, dan setelah tidak lama mempelajari filsafat hegel ia pun menjadi tokoh yang terkenal. Setelah menamatkan studinya iapun akhirnya menjadi wartawan.[2] Pada sebuah harian yang terbit di kota Koln. Namun karena harian tersebut sering kali mendapat tindakan dari pihak pemerintah, iapun akhirnya pindah dari Jerman ke Paris. Dan di kota Paris ini ia bertemu dengan Friedrich Engels (1820-1895), yang merupakan anak pemilik pabrik tenun di Barmen (Jerman). Pada pertemuannya dengan Engels tersebut merupakan masa-masa penentuan dari karer dari Marx sendiri.
Seiring dengan waktu Marx dan Engels menjadi sahabat yang dekat. Marx kemudian menikahi kekasih masa kanak-kanaknya dan pindah ke Paris (1843). Pada awalnya Marx sangatlah miskin, namun karena mendapat uang dari Engels dan warisan istrinya ia akhirnya dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarga.[3] Ketika Marx bersama dengan Enggels, ia mulai menulis pekerjaan ilmiahnya, dan selain itu juga mereka banyak menerbitkan hasil dari tulisan-tulisan yang mereka buat bersama. Dan sekitar tahun 1848 pada kegagalan revolusi pada seluruh Eropa, Marx dan keluarganya pindah ke London. Di mana ia menghabiskan masa hidupnya. Setelah Marx meninggal, hasil karangan Marx yang masih belum selesai tersebut akhirnya diteruskan oleh teman akrabnya yaitu Friedrich Engels.
C. Agama Kaum Miskin
Kritikan yang dilakukan oleh Marx dan bahkan Engels, terhadap kajian agama tidak menjadi perhatian yang khusus. Akan tetapi ia sendiri masih menolak secara individual maupun psikologis, namun ia lebih tertarik pada pendekatan sosiologis. [4] Namun dalam hal ini ia mulai menarik perhatiannya yang besar tehadap agama, yang bertolak kepada masyarakat. Atau ia banyak banyak mengkritik persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat. Seperti halnya yang ia mencoba melihat agama, yaitu :
“Agama adalah kesadaran diri dan perasaan diri bagi manusia, ketika ia belum berhasil menemukan dirinya. Namun manusia bukan suatu makhluk abstrak yang “bercokol” di luar dunia. Negara, masyarakat menghasilkan agama, yang merupakan suatu kesadaran Terhadap dunia yang tidak masuk akal. Agama adalah teori umum tentang dunia itu (….) ia adalah realisasi fantastis makhluk manusia, oleh makhluk manusia tidak memiliki realitas sejati (….) kesengsaraan realigius, di satu pihak adalah pernyataan dari pada kesengsaraan nyata, dan di lain pihak, suatu proses terhadap kesengsaraan yang nyata itu. Agama adalah keluhan makhluk yang tertindas, jiwa (hati) suatu dunia yang tidak berkalbu (hati), sebagaimana ia merupakan roh suatu kebudayaan yang tidak mengenal roh (semangat dalam keadaan yang tidak bersemangat). Agama adalah suatu candu rakyat.[5] Menghapuskan agama sebagai yang dibuat-buat dalam masyarakat adalah syarat mutlak demi kebahagian yang nyata. Syarat yang meninggalkan khayalan-khayalan tentang keadaan adalah syarat untuk, meninggalkan suatu kadaan yang memerlukan khayalan ...…”[6]
Marx beranggapan, agama merupakan suatu refleksi dari gambaran manusia terhadap zat yang diluar dari manusia / zat yang tak terbatas dan diluar dari jangkauan. Dan di lain pihak apa yang digambarkan Feuerbach terhadap agama, diibaratkan ketika kita berdiri di depan cermin dan dihadapannya itulah gambaran diri kita atau Tuhan hanya bayangan dari manusia.[7] Namun gambaran itu tidak disadari oleh kita. Namun lebih jauh lagi Marx malah beranggapan bahwa agama menurutnya hanya sesuatu khayalan. Karena, ia masih mempertanyakan “apa yang telah diberikan agama terhadap masyarkat ?” apa yang dipertanyakan Marx, tentunya sangatlah beralasan, karena ia melihat kesengsaraan yang banyak diterima oleh masyarakat.
Dan ternyata apa yang ditawarkan agama tanpaknya hanya sebagai suatu yang semu dan bersifat khayalan. Agama mulai menawarkan segala sesuatu dengan memberikan janji-janji dan segala sesuatu yang menyenagkan. Akan tetapi Marx tidak menyangkal dengan agama, pada awalnya sebagai nilai kesadaran dan perasaan diri yang bersifat abstrak (yang sulit untuk dilukiskan / digambarkan).
Pada sisi lain ternyata agama disalah artikan / gunakan, untuk menutupi perasaan diri masyarakat. Marx beranggapan apa bahkan ketika masyakat miskin dan kelaparan, mereka malah disuruh untuk membayangkan makanan yang enak-enak, hal-hal yang menyenangkan sehingga mereka akan terhibur dengan janji-janji yang diberikan. Tentunya hal demikian bukan menjadi pemecahan masalah yang sesuai, menurut angapan Marx.
Akan tetapi Marx tidak menyangkal terhadap anggapan bahwa apa yang ditawarkan agama terhadap manusia merupakan hiburan palsu, dengan buaian sia-sia dengan suatu harapan. Dan lebih banyak mengarahkan manusia pada khayalan-khayalan yang semu. Yang walaupun juga dapat mengobati rasa kegagalan yang dialami setiap manusia dengan memeberikan suatu harapan yang selama ini tidak bisa di capai terhadap kenyataan.
“kebahagiaan agama sebagai kebahagiaan palsu rakyat, itulah yang merupakan kebahagiaan sejatinya, itulah tuntutan untuk menolak suatu keadaan yang membutuhkan ilusi-ilusi. Maka kritik terhadap agama pada azasnya adalah kritik terhadap “lembah air mata”, yang mahkotanya adalah agama”.[8]
Marx menggambarkan agama dengan hubungan-hubungan produksi yang dilakukan secara bersama-sama yang akan menentukan semua. Dalam hubbungan hubungan sosial yang terjadi pada masyarakat yang dihadapi oleh Marx, sarana-sarana produksi akan membentuk suatu basis ekonomi.
Apa yang ada di dalam basis ekonomi merupakan penentu dari alur cerita untuk menentukan pemebentukan ideologi. Di mana idologi merupakan sesuatu yang di anggab sebagai suatu yang tinggi dan sangat berarti di dalam masyarakat. Marx berpendapat, hubungan produksi merupakan hubungan manusia satu dengan yang lain, berdasarkan kedudukannya.
Marx melihat basis ekonomi memiliki peluang yang sangat besar tersehadap kesenjangan sosial antara yang kaya dengan yang miskin. Dan selain itu timbulnya industri pada waktu itu menambah masalah lagi bagi masyarakatnya. Di mana pabrik hanya dapat dimiliki oleh kalangan tertentu yang memiliki modal banyak, dan banyak dari masyarakatnya menjadi buruh pabrik milik orang lain. Dengan seiring waktu, hubungan-hubungan produksi tidak mengalami kecocokan lagi, dan akhirnya akan terjadi pertarungan kelas. Pertarungan kelas ini juga akan mengalami dampak pada terbagimya kelas / golongan. Pertentangan yang saling bermusushan, antara kaum proletar dengan pemilik modal (kapitalisme).
Permusushan ini juga tidak terlepas adanya kapitalisme, manusia mulai menyadari terhadap permasalahan tersebut. Marx menambahkan terjadinyapertarungan kelas, yang disebabkan oleh nilai jual keringat yang mereka berikan ternyata tidak sesuai dengan kerja keringat yang mereka berikan dengan memberikan upah kurang sesuai.
Dengan adanya permusuhan tersebut, akan memberikan peluang terjadinya pertrungan kelas. Antara kaum buruh dengan kapitalisme. Pertarungan kelas tersebut akan berakhir dan menghasilkan masyarakat tanpa kelas. Di mana sarana-sarana produksi akan menjadi milik bersama.[10]
Akan tetapi muncul masalah baru, bagaimana hubungan-hubungan produksi dan arahnya, apakah telah sesuai dengan sarana produksi yang diharapkan Marx ? Nyatanya apa diharapankan Marx bertolak belakang dengan apa yang ia ramalkan. Hal tersebut, dapat dilihat, dari semakin bertambahnya kaum proletar. Hal ini, tidak terlepas dari para kapitalisme yang terus mengisap kaum proletar (kaum buruh) sedangkan para pemilik modal yang besar berada diantara kapitalisme dan kaum proletar. Dan selain itu banyak dari para buruh keringatnya di peras untuk menghasilkan untung yang besar dengan modal sedikit keuntungan berlipat ganda. Bahkan jam kerja bagi buruh di tambah, hal ini tidak diikuti dengan upah yang sesuai. Hal tersebut yang mengakibatkan terjadi masalah yang sungguh sangat memprihatinkan terutama, makin bertambahnya jumlah kaum proletar.
Hal lain juga dapat disebabkan karena ketidakcocokan hubungan-hubungan produksi dengan sarana yang diberikan. Berkibat pada pada salah satu pihak mengalami kerugian. Buktinya saja pada masyarakat berindustrilisasi yang terdiri dari dua kelas yaitu kelas pekerja yang menjual tenaga kerja dan kaum kapitalis yang memiliki sarana-sarana produksi (para pemilik modal). Masalah ini muncul diakibatkan oleh kaum kapitalisme telah merampas hak-hak mereka sebagai buruh yang menjual tenaga kerja mereka. Terutama pada sistem pemberian upah yang sangat kecil dan dengan kerja melebihi dari apa yang diberikan.[11] Yang mengakibatkan kedua golongan ini terjadi permusuhan dan seiring waktu masalah itu akan semakin memburuk. Mau tidak mau pertarungan kelas akan terjadi. Hal inilah yang menjadi keyakinan Marx, “sampai pada titik tertentu, sistem kapitalisme ini akan ambruk dengan sendirinya dan membentuk sitem baru. Di mana kekuasaan terletak pada tangan kaum proletar”.[12] Tetapi ramalannya ini hanya banyak menguntungkan bagi kalangan kapitalis.
Dari apa yang ia telah pikirkan tentang agama, ternyata agama menurutnya merupakan sarana atau bahkan jalan terbukanya penindasan yang dilakukan oleh para penguasa dan lebih jauh lagi masyarakatnya hanya menjadi korban semata dari kepentingan sekelompok orang yang mengatas namakan agama.[13] Dalam hal ini dari apa yang lihat pada waktu itu merupakan suatu masalah yang sangat besar. Karena agama menjadi wadah untuk mengeruk untung yang sebesar-besarnya dari produksi yang dihasilkan oleh masyarakat. Dan dengan penindasan tersebut agama menjadi penghibur terhadap harapan yang ada di dunia terhadap gambaran kehidupan mendatang dan menurutnya, agama tidak bisa menjadi obat yang tepat, walau pada waktu dipakai sebagai obat untuk melawan penderitaan di dunia.[14] Dan lebih-lebih lagi apa yang Marx lihat terhadap agama tidak memberikan solusi yang jelas terhadap permasalahan yang dihadapi, dan malah agama hanya membiarkannya begitu saja, meskipun masyarakat mengalami penderitaan. Agama malah mengajak orang untuk berpasrah terhadap keadaan tanpa melakukan suatu usaha-usaha untuk melakukan perubahan.
“kritik terhadap agama menghasilkan ajaran bahwa manusia adalah makhluk yang tertinggi bagi manusia dan keharusan kategoris mendestruksikan semua hubungan sosial dimana manusia merupakan makhluk yang sederajat rendah, diperbudak, telantar dan terhina”[15]
Tanpaknya kebebasan sejati untuk manusia merupakan hal ingin dicapai oleh Marx.[16] Agama tidaklah baik karena menurut mereka agama diguanakan untuk mereka yang meinginkan masyarakatnya terbanyang-banyang dengan khayalannya tersebut. Dan dengan kata lain agama hanya digunakan sebagai alat untuk menyelewengkan pemikiran dari manusia dari perpecahan manusia yang sebenarnya. Mereka yang mengikuti marx beranggapan bahwa kepercayaan merupakan suatu yang bersifat khayal dan karenanya itu bukan suatu yang illmiah dan tidaklah mendasar.
Sebagaimana pandangannya tersebut tentang agama, yang menyatakan abahwa agama merupakan candu, dan apa yangada di dalam basis ekonomi adalah dasar dari permasalahan yang akan menambah candu tersebut.
D. Kritik terhadap Marx
Pemikiran Marx merupakan sebuah terubusan yang sangat besar, ia mencoba untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh manusia dengan menjelaskan pokok dari masalah masyarakat. Ia memandang bahwa apa yang terjadi pada masyarakat pada merupakan masalah yang sangat rumit. Hal ini terutamamenyangkut masalah perasaan diri. Dalam pandangannya tersebut ia melihat bahwa agama sebagai sarana penghasil keuntungan yang sangat besar terhadap perkembangan yang akan dating hal ini juga tidak
E. Kesimpulan
Di dalam sejarah Marx merupakan tokoh filosuf yang sangat banyak tertarik pada masyarakat, bahkan iapun melihat agama dengan cara yang berbeda dengan kebanyakan filosuf yang lain. Marx lahir dari keluarga yang miskin dan ia merupakan keturunan dari Yahudi, ia lahir pada sebuah daerah yang bernama Trier tahun 1818-1883. Ia kemudian menikah dengan kekasih masa kecil. Pada masa perjalanannya ia kemudian bertemu dengan Friedrich Engels, dan pada pertemuannya ini menjadi babak baru dalam hidupnya. Seiring dengan waktu sejarah ia kemudian melakukan pekerjaan ilmiahnya. Dalam pekerjaanya tersebut, Marx beransumsi bahwa agama merupakan pangkal dari semua masalah yang dihadapi masyarakat. Hal itu karena agama pada salah satu sisi memeberikan suatu yang dinamakan dengan kedamaian namun di sisi lain agama dijadikan sebuah alat untuk menambah kesengsaraan.
Dari segi pandanganya tersebut ia masih melihat dasar pemikirannya, yang didasari atas masalah yang dihadapi oleh masyarakat pada waktu itu, dimana masyarakat mengalami keterpurukan dengan timbulnya industry pada masa itu juga memiliki dampak yang sangat besar, karena dari sekian banyak orang hanya sedikit sekali yang memiliki pabrik yang akan digunakan sebagai sarana-sarana produksi. Dan dari sarana produksi ini akan timbul pertarungan kelas, hal tersebut disebabakan karena terdapat perselisishan antara kaum buruh dengan kapitalisme. Dan dengan demikian maka Marx berkeyakinan bahwa sistem kapitalisme akan runtuh, hal itu disebabkan oleh pertarunngan kelas. Dan akan menghasilkan masyarakat tanpa kelas, dimana disana milik pribadi akan digantikan dengan milik bersama. Yang akan membawa mannusia pada kemakmuran, perkembangan, kebudayaan, teknik, kesejatraan, dan perdamaian.
Daftar pustaka
Anggota IKAPI ,Masalah ketuhanan Dewasa Ini. KANISIUS. Jakarta. 1982
A. Karel Steenbrink, Pesantren, Madrasah, sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, LP3ES. Jakarta. 1986
Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Kanisius. Yogyakarta. 2009. K. Bertans, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta. 2001
K. Bertns, Ringkasan Sejarah Filsafat. Kanisius. Yogyakarta. 2001.
Linda Smith dan Welhim Raeper, Ide Ide (filsafat dan agama dulu dan sekarang), Kanisius. Yogyakarta. 2004.
Van Der Weij, Filusuf-Filusuf Besar tentang Manusia Kanisius. Yogyakarta. 2006
[1] Linda Smith dan Welhim Raeper, ide-ide (filsafat dan agama dulu dan sekarang), Yogyakarta. 2004. Hal. 117
[2] K. Bertans, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta. 2001. hal. 79.
[3] Linda Smith dan Welhim Raeper,op cit. Hal. 116.
[4] A Karel Steenbrink, Pesantren, Madrasah, sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, LP3ES. Jakarta. 1986. hal. 53.
[5] Anggota IKAPI ,Masalah ketuhanan Dewasa Ini. KANISIUS. Jakarta. 1982. hal. 96.
[6] A Karel Steenbrink, op. cit. hal. 53.
[7] A Karel Steenbrink, Ibit. hal. 52.
[8] Anggota IKAPI, Ibid. hal. 97
[10] K. Bertns, Ringkasan Sejarah Filsafat. Kanisius. Yogyakarta. 2001. hal. 80-81.
[11] K. Bertns, Ringkasan Sejarah Filsafat. Kanisius. Yogyakarta. 2001. hal. 81.
[12] Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Kanisius. Yogyakarta. 2009. hal. 40-41.
[13] Anggota IKAPI ,Ibit,. hal. 93.
[15] Anggota IKAPI , op. cit. hal. 99
[16] Van Der Weij, Filusuf-Filusuf Besar tentang Manusia Kanisius. Yogyakarta. 2006. hal. 112.