Sexy Banget

Rabu, 17 November 2010

Landasan Teologis Historis Dialog Antar Agama


Persoalan dialog agama, bukanlah sesuatu yang baru bagi umat Islam. Pada masa awal Islam telah banyak berbagai peristiwa yang memberikan petunjuk kepada kita bahwa praktek-praktek persentuhan umat Islam dengan umat non-Islam telah dipraktekkan secara riil dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Diantara peristiwa-peristiwa penting yang dapat dijadikan landasan kesejarahan adalah:
1. Perjanjian Kaum Muslimin dengan kaum Yahudi di Madinah
Masyarakat madinah pada awal berdirinya Negara Islam adalah masyarakat yang plural. Disamping orang-orang Islam – yang secara politis adalah elit  politik – terdapat pula masyarakat Yahudi dan penganut-penganut agama nenek moyang. Karena pluralisme masyarakat inilah maka untuk mewujudkan stabilitas yang tentram dan aman, maka Nabi Muhammad SAW mengadakan suatu perjanjian dengan masyarakat non-muslim yaitu Piagam Madinah. Suatu piagam yang menjamin hak dan kebebasan beragama bagi orang-orang Yahudi dan kelompok-kelompok non-muslim lainnya. Kemerdekan dan kebebasan beragama dijamin, dan seluruh masyarakat baik muslim ataupun non-muslim berkewajiban untuk mempertahankan keamanan Negara dari serangan luar.[1]
Berdasarkan Piagam Madinah itulah Nabi Muhammad Saw membangun masyarakat majemuk yang didasarkan pada kebebasan dan pesekutuan yang kuat. Tetapi pada tahun 5 H, golongan yahudi tidak setia terhadap perjanjian yang telah disepakati bersama. Pada perang Khandak, orang-orang yahudi bukan hanya tidak mau mempertahankan Negara Madinah dari serangan musuh, tetapi orang-orang yahudi telah membantu musuh untuk menggerogoti Negara Madinah dari dalam.[2]
Isi dari Piagam Madinah tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut :
-          Semua muslim apapun ras dan sukunya adalah masyarakat tunggal.
-          Hubungan antara orang-orang Islam dan hubungan antar orang-orang non-muslim adalah didasarkan pada prinsip persaudaraan yang baik, bekerjasama untuk menghadapi musuh dan membela golongan yang menderita karena penganiayaan kelompok lain dan saling menghormati (respek) terhadap kebebasan dalam beragama.[3]
2.Perjanjian Hudaibiyyah
Pada tahun 6 H ketika ibadah haji telah disyari’atkan, Rasulullah Saw dan para sahabat berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Ketika tiba di Hudaibiyyah diketahui bahwa penduduk Mekkah tidak mengijinkan Rasulullah Saw dan rombongannya memasuki Mekkah. Maka diadakan perjanjian antara kaum muslimin dengan penduduk Mekkah. Isi perjanjian Hudaibiyyah ini adalah :
·         Tiap kabilah yang ingin masuk kedalam persekutuan baik kaum Quraisy atau kaum muslimin bebas melaksanakannya tanpa ada rintangan, dan apabila ada pihak lain yang berperang, maka kedua belah pihak tidak boleh membantu pihak manapun kecuali menyelesaikan dengan perdamaian.
·         Kaum muslimin belum boleh mengunjungi Ka’bah pada tahun tersebut (6 H), kecuali tahun berikutnya.
·         Apabila ada pihak Quraisy yang minta bantuan dengan kaum muslimin di Madinah, maka Rasulullah bertanggung jawab mengembalikannya ke Mekkah. Sebaliknya apabila ada orang Islam yang minta perlindungan ke Mekkah, maka kaum kafir Quraisy tidak bertanggung jawab dan tidak diharuskan mengembalikannya.[4]
3. Pembebasan Mekkah (Fath al-Makkah)
Selama dua tahun perjanjian Hudaibiyyah berlangsung, dakwah Islam sudah hampir sampai keseluruh daerah jazirah Arab. Kemajuan dan perkembangan umat Islam yang pesat dan membuat orang-orang kafir terpojok. Oleh karena itu orang-orang Quraisy secara sepihak membatalkan perjanjian Hudaibiyyah. Karena penghianatan ini Rasulullah Saw dengan pasukannya berangkat ke Mekkah untuk memberi peringatan orang-orang Quraisy.
Rasulullah Saw dan pasukannya tidak mengalami kesulitan yang berarti dan memasuki kota Mekkah tanpa perlawanan. Kemudian Rasulullah Saw mengumumkan atau berpidato yang menjamin keselamatan kepada penduduk yang berlindung di Ka’bah atau rumah Abu Sufyan. Perbuatan kaum Muslimin ini memberikan suatu gambaran betapa besarnya penghargaan Islam kepada hak asasi dan hak keberagamaan umat lain.
4.Perjanjian dengan kaum Nasrani Najran
Sikap penghormatan umat Islam terhadap Nasrani Najran ini terjadi pada tahun 630 M dengan dibuatnya suatu perjanjian. Salah satu dari isi perjanjian ini adalah : melindungi penduduk kota Najran dan sekitarnya, menjamin keselamatan pribadi dan harta benda dan menjamin kemerdekaan untuk tetap dalam agamanya dan ibadatnya, dengan syarat mereka mengikuti kedaulatan politik Islam.[5] Bahkan pada suatu kesempatan Rasulullah Saw pernah mengizinkan suatu delegasi dari nasrani Najran untuk melakukan kebaktian di Masjid Nabawi. [6]


[1]Muh. Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, Cet. 12 (Jakarta: Litera Antarnusa, 1990), hlm. 205.
[2]Nourouzzaman Shiddqi,  Jeram-jeram Peradaban Muslim,   (Yogyakarta: Pustaka  Pelajar, 1996 ), hlm. 94 - 95
[3]Depag,  The  Theological  Frame  of  Harmonious  of  Religious  Communities  in   Indonesia, ( Jakarta  : Depag, 1991 ) hlm. 46 - 47
 4Umar Hasyim, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama Dalam Islam Sebaai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama, ( Surabaya : PT. Bina ILmu, 1979 ) hlm. 22
[5]Marcel A. Boisard, Humanisme Dalam Islam, H. M.  Rasyidi  (  penj. ), ( Jakarta : Bulan Bintang, 1980 ), hlm. 202 - 206
[6]Norcholis Madjid, Kerukunan Umat Beragama, Sebuah Tinjauan Normatif dalam Suara Muhammadiyah No. 1 Th. Ke – 82, 1 – 15 Januari 1997, hlm. 47












title="Add to TheFreeDictionary.com">Add to TheFreeDictionary.com

















Free Online Dictionary

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Teman-teman yang mendukung, yaitu :